Subscribe Us

Rereng Gunung Parang


Filosofi yang terkandung dalam batik motif "Rereng Gunung Parang": harapan, keteguhan, kesetaraan, optimisme, dan semangat pembuktian
Batik motif “Rereng Gunung Parang” dilahirkan sebagai upaya untuk merawat ingatan dan menjaga masa lalu salah satu cerita rakyat (folklore) Pakujajar di Gunung Parang tentang asal-usul Sukabumi. Suasana bathin yang tersirat di dalamnya menggambarkan nilai-nilai positif dalam kehidupan antara lain: harapan, keteguhan, optimisme, dan semangat pembuktian.

Cerita Pakujajar di Gunung Parang tidak sekadar mengisahkan asal-usul sebuah tempat, lebih dari itu banyak mengandung pesan-pesan moral sebagai pembentuk identitas diri manusia Sukabumi. Latar belakang cerita yang terjadi pada masa keruntuhan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 sebagai akibat dari serangan Kesultanan Banten merupakan sebuah gambaran era romantisme lebih awal terjadi di Nusantara jika dibandingkan dengan peradaban lain, misalnya Barat.

Tokoh utama dalam cerita tersebut, Nyai Pudak Arum dan Wangsa Suta memiliki perwatakan sebagaimana terlukis dalam motif batik “Rereng Gunung Parang”; harapan, keteguhan, optimisme, dan semangat pembuktian. Semangat dari nilai ini hampir sepenuhnya disuguhkan dalam cerita yang terjadi pada satu masa ketika patriarki menjadi tradisi arus utama di mana dominasi maskulinitas terhadap feminitas benar-benar tampil tidak sekadar dalam dunia ide juga mengejewantah dalam kehidupan.

Watak yang mengendap dalam diri Nyi Pudak Arum adalah semangat keteguhan dan kesetaraan. Ia merupakan perempuan yang mampu melampaui tradisi di zamannya. Nyi Pudak Arum memberikan sarat kepada Wangsa Suta untuk membuat kampung di sebuah tempat dengan kontur tanah (waruga lemah) yang miring ke sebelah selatan. Sarat ini sebagai pembuktian keseriusan Wangsa Suta untuk mempersunting Nyi Pudak Arum. Pemberian sarat oleh perempuan kepada lelaki bukan berarti jalinan cinta dibangun oleh sebuah transaksi, semangat kesetaraan lah yang hendak disampaikan oleh seorang perempuan bernama Nyi Pudak Arum.



Sarat tersebut dapat dipenuhi oleh Wangsa Suta sebagai semangat pembuktian kepada Nyi Pudak Arum bahwa niatnya untuk mempersunting perempuan cantik tersebut benar-benar keluar dari lubuk hatinya. Hanya saja, tradisi arus utama patriarki sering tampil menjadi benteng pemisah antara harapan dan kenyataan. Kecantikan paras Nyi Pudak Arum telah memikat banyak lelaki termasuk para demang dan saudagar di Sukabumi. Tawaran untuk menjadikan Nyi Pudak Arum sebagai selir dari beberapa lelaki ditolak dengan santun. Para demang dan saudagar menempuh berbagai cara untuk mendapatkan Nyi Pudak Arum mulai dari menawarkan kebaikan hingga fitnah yang menyebutkan bahwa calon istri Wangsa Suta ini merupakan perempuan pembawa malapetaka yang harus dipenggal.

Dengan semangat dan optimisme, Wangsa Suta berusaha menyelamatkan Nyi Pudak Arum, meskipun akhirnya mereka berdua harus terpisah. Nyi Pudak Arum diasingkan ke daerah sebelah utara. Wangsa Suta tetap menyimpan harapan, keterpisahan dirinya dengan Nyi Pudak Arum bukan akhir cerita hidupnya. Seorang pandita bernama Resi Saradea mengatakan kepada Wangsa Suta, kelak pada suatu hari, dirinya akan menikah dengan perempuan titisan dari Nyi Pudak Arum.

Harapan, optimisme, dan semangat pembuktian dari Wangsa Suta telah membuka babak baru kehidupan di Gunung Parang. Keruntuhan Pajajaran sebagai penyangga terakhir Tatar Sunda memang menyisakan kepedihan dan kegetiran sekaligus membuka babak peradaban baru di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Sukabumi.

Nilai-nilai moral dalam cerita Pakujajar di Gunung Parang telah diaplikasikan oleh Lokatmala melalui motif “Rereng Gunung Parang”. Harapan, keteguhan, kesetaraan, optimisme, dan semangat pembuktian tidak akan pernah pupus dalam kehidupan.

Catatan
Cerita Pakujajar di Gunung Parang merupakan karya salah seorang budayawan Sukabumi, Anis Djatisunda (alm).

Posting Komentar

0 Komentar