Subscribe Us

Garuda Ngupuk (Bagian 2)



Garuda Ngupuk dan Keberadaan Kota Sukabumi

Tulisan saya beberapa hari lalu dengan judul “Garuda Ngupuk” telah diterbitkan oleh Radar Sukabumi dapat dikatakan sebagai jendela masuk untuk memahami konsep “Garuda Ngupuk” di dalam Tradisi Sunda. Keterikatan budaya yang berkembang antara satu peradaban dengan peradaban lainnya merupakan satu keniscayaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: migrasi pemikiran, kebenaran gagasan tentang dunia ide ala Platon, dan koordinasi manusia memang telah berlangsung sejak zaman dulu.

Pada bagian dua ini –sesuai saran teman saya, Fonna Melania, pembuat batik motif Garuda Ngupuk– saya memang harus lebih membumikan lagi konsep “Garuda Ngupuk” agar lebih dekat dengan realitas kehidupan, bukan sekadar katalog ide, gagasan, dan konsep yang terhenti oleh beberapa tanda baca saja. Bagaimana seharusnya pemerintah bersama masyarakat membumikan konsep melangit bertabur metafor ini dalam keseharian yang bersifat aplikatif-terapan.

Ayat-ayat Tuhan –baik yang tercantum dalam kitab suci atau berupa alam ini– memang tidak sesederhana pikiran kita ketika sudah memasuki ranah interpretasi. Boleh jadi, apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer ada benarnya juga, hidup sungguh sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Untuk menafsirkan satu ayat dalam kitab suci saja harus melibatkan orang-orang hebat, dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau buku tafsir. Untuk memahami sistem tata surya, sejak geosentris berkembang hingga dicetuskan heliosentris oleh Copernicus, entah berapa judul artikel telah ditulis oleh manusia. Padahal realita yang sebenarnya terjadi sungguh sederhana jika relativitas dipahami oleh umat manusia.

Kemegahan penafsiran juga terjadi pada turunan ayat-ayat Tuhan, kata-kata dalam bentuk frasa, idiom, peribahasa, babasan, dan aporisma kata-kata mutiara memerlukan penafsiran agar relevan dengan kehidupan di setiap zaman. “Garuda Ngupuk”, sebuah konsepsi metafor jika dimaknai secara lugas memiliki arti burung garuda yang merangkul. Pemberian makna tekstual seperti ini justru akan melahirkan kebingungan dan pertanyaan susulan. Paling tidak dalam pikiran kita muncul pertanyaan, apa maksud dari burung garuda yang merangkul ini? Bukan sekadar ketidaktahuan atau kebodohan yang mengendap dalam diri manusia sampai setiap ungkapan dibutuhkan penjelasan detailnya, kecerdasan manusia sendiri juga telah menjadi alasan segala sesuatu perlu dipaparkan sejelas mungkin.

Garuda Ngupuk dan Penataan Wilayah

Peradaban-peradaban besar selalu lahir di tempat beriklim sejuk dan memiliki ketersediaan air sebagai penunjang kehidupan. Garuda Ngupuk merupakan simbol terhadap kondisi alam seperti itu. Sebuah tempat yang layak dijadikan pemukiman tempat tinggal bersama, melahirkan masyarakat beradab, dan menciptakan pemerintah sebagai pelayan masyarakat (civil servant). Dengan membumikan semangat “Garuda Ngupuk” dalam praktik penataan wilayah, tiga pondasi kehidupan akan menjadi landasan berpijak yang kokoh bagi manusia sendiri.

Anomali dalam kehidupan –terutama yang sering dihadapi oleh manusia modern- yaitu terlalu sering membahasakan solusi dan jalan keluar setelah segala sesuatu telah selesai dikerjakan. Misalnya, beberapa tahun setelah pengecoran jalan, pembukaan pemukiman baru karena populasi semakin meningkat, rabat beton jalan lingkungan, dampak kurang baik muncul. Hampir setiap dari kita, tiba-tiba, mengeluarkan pandangan terhadap buruknya penataan dan pengelolaan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah. Kenapa pemerintah tidak memikirkan dampak buruk pembangunan? Kenapa tidak diantisipasi dengan sikap preventif sebelum terjadi hal-hal yang tidak diharapkan? Dan sejumlah wacana lainnya yang dipandang sebagai jalan keluar padahal hanya kalimat tanya sebagai ungkapan kebingungan.

Sikap seperti di atas memang tidak dapat disalahkan karena hal yang sering terjadi yaitu semangat mengantisipasi kekeliruan yang akan terjadi masih kurang dalam diri kita. Meminjam istilah dalam Bahasa Sunda, manusia lebih cenderung mendahulukan sikap: kumaha engké (Bagaimana nanti) daripada engké kumaha (Nanti bagaimana). Maka tidak heran, setiap perbuatan yang dianggap demi kebaikan bersama juga selalu menjadi tidak baik karena tidak pernah lepas dari kemunculan hal buruk yang terjadi di kemudian hari.

Garuda Ngupuk merupakan sikap “bagaimana sebaiknya” tiga tatanan dalam kehidupan dibangun agar melahirkan peradaban. Orang-orang Mesir Kuno, dulu membangun peradaban Sungai Nil bukan tanpa perencanaan. Ahli ukur, arsitek kuno, agamawan, politisi, dan masyarakat benar-benar diikutsertakan sebelum mereka membangun sebuah peradaban. Mereka membangun pusat pemerintahan yang megah karena memosisikan diri sebagai “Mata Tuhan” yang harus selalu mengawasi. Mereka membangun unsur kebudayaan agararis mulai dari sistem pertanian hingga sistem religi sebagai refleksi kemelekatan manusia dengan alam. Mereka membangun piramida sebagai makam para Pharao karena memandang keterikatan manusia di bumi dengan kuasa tertinggi (Amun Ra).

Manusia Sunda Buhun dan orang-orang Nusantara juga melakukan hal yang sama dalam membangun peradaban besar di masa lalu. Salaka Nagara dibangun tepat di kaki Gunung Salak, sebuah gunung yang memiliki kandungan air murni. Dengan mengonsumsi air murni yang belum terkontaminasi zat berbahaya menurut penelitian para ahli merupakan brain booster (pengungkit otak manusia). Terbukanya sel-sel dalam otak manusia sama artinya dengan peningkatan kapasitas dapur picu pada diri manusia. Tidak dapat dimungkiri, meskipun peradaban Salaka Nagara ini berlalu dengan meninggalkan sedikit jejak masa lalu, keberadaannya pernah ditulis oleh Cladius Ptolemeus dengan sebutan Agryre atau negara perak.

Beberapa dekade ke belakang, kelahiran Sukabumi sebagai sebuah wilayah tidak terlepas dari cerita rakyat yang mengharu biru baik latar juga pemaparan alurnya. Kota Sukabumi sebuah wilayah yang terletak di sebelah selatan Gunung Gede merupakan tempat dengan waruga lemah atau bentuk tanah miring ke arah selatan. Penentuan pusat pemerintahan yang diwakili oleh Balai Kota Sukabumi jika dicermati merupakan replika dan perwujudan konsep “Garuda Ngupuk”. Balai Kota Sukabumi menghadap ke arah selatan merupakan simbol tatanan kehidupan wilayah ini merupakan halaman besar yang dapat diawasi dari sebuah beranda oleh pemangku kebijakan.

Lima tahun terakhir berkembang wacana pemindahan perkantoran pemerintah dari Cikole ke Cibeureum. Saya tidak pernah menulis opini tentangnya apalagi memberikan komentar berlebihan sebab pemindahan perkantoran dan pusat Pemerintahan Kota Sukabumi dari wilayah yang telah dipadati oleh bangunan dan populasi ke wilayah pemekaran memang dapat dikatakan rasional. Lagi pula, rencana pemindahannya juga masih ke kecamatan dalam satu kota, jadi tidak ada yang perlu dikomentari secara berlebihan. Sama halnya dengan rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, tidak perlu dikomentari karena pemindahannya juga masih dalam satu negara.

Meskipun tanpa memberikan komentar, paling tidak pemindahan perkantoran dan pusat pemerintahan tersebut harus dipersiapkan secara matang. Konsep “Garuda Ngupuk” yang telah diwariskan sekaligus digariskan oleh para leluhur sebaiknya dijadikan landasan berpijak sebelum kita mengeluarkan kebijakan yang akan memunculkan wacana saling-silang di masa depan. Keterikatan jagat kecil, manusia dan kehidupannya, dengan jagat besar, tanah, air, dan semesta ini begitu erat. Melonggarkan ikatan atau harmoni antara jagat kecil dengan jagat besar sama artinya dengan membiarkan partikel bebas lepas yang bergerak ke sana-sini. Risiko yang akan dihadapi terlalu besar jika partikel bebas tersebut bergerak mendekati partikel yang lebih besar namun memiliki sifat menarik ke dalam. Keterikatan yang sebaiknya terjadi antara jagat kecil dan jagat besar yaitu memiliki ruang interaksi, saling tarik-menarik, seperti halnya gravitasi yang mengokohkan bangunan semesta antar planet, satelit, bintang, dan galaksi.

Manusia selalu memiliki harapan agar hal-hal ideal dapat diwujudkan di dalam kehidupan. “Garuda Ngupuk” sebuah tanah baik “anu bahé ngalér ngétan, deukeut pangguyangan badak putih” merupakan tatanan ideal bagi sebuah wilayah. Pemerataan struktur dan infrastruktur perkotaan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, berfungsi sebagaimana seharusnya, pertalian erat simbiosis mutualisma antara pemerintah dengan masyarakat, merupakan harapan dan keinginan ideal semua pihak. Mewujudkannya memang tidak mudah karena selalu terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Setidaknya, berabagai upaya telah dilakukan oleh kita. Itulah bekal kita kepada generasi mendatang. Selain itu, sebagai bentuk penghormatan kita kepada para leluhur, warisan mereka tetap kita jaga dan pertahankan sampai saat ini yaitu pesan-pesan penting dalam sebuah frasa: “Garuda Ngupuk”.

Posting Komentar

0 Komentar