Subscribe Us

Garuda Ngupuk (Bagian 1)



Bukan hanya lahan
Melainkan juga kenangan
Yang melayang seiring alunan Kinanti
Ngahyang lalu ngadeg kembali di hati
Sebuah pengertian yang kelu dijabarkan
Namun bersatu dalam gambaran silam antara biru dan hitam
Kejayaan mata air berubah bara
Masih bisa terasa dalam hangat air mata


Bukan hanya aku
Melainkan juga kami



Di setiap peradaban, keberadaan sosok atau mahluk superior selalu ditemukan baik dalam bentuk mitologis atau logis di dunia modern seperti saat ini. Sosok dan mahluk superior ini rata-rata diilustrasikan mewakili kekutan tertinggi dalam simbol mahluk bersayap, burung, memiliki kemampuan terbang, dan dapat melakukan transformasi dari satu bentuk ke bentuk lain.

Setiap peradaban pada masing-masing milieu memberikan nama yang berbeda-beda pada mahluk superior tersebut. El-condor Pasa dan Foeniks sebagai simbol kekuatan dari dua peradaban, Mesir Kuno dan Indian diilustrasikan sebagai burung keramat yang dapat bertransformasi menjadi api setelah melewati kurun waktu 500 tahun. Tranformasi yang dilakukan tersebut pada tahap selanjutnya merupakan babak baru kehidupan Foeniks muda. Simbol kekuatan yang diproyeksikan oleh Foeniks tetap digunakan sebagai lambang bagi negara adidaya, Amerika Serikat sampai saat ini.

Di abad pertengahan, orang-orang Eropa memiliki kepercayaan terhadap keberadaan burung bernama Avalerion sebagai burung keramat. Dalam salah satu karya monumentalnya, Gaius Pilius memberikan ilustrasi, “ Avalerion seekor burung yang dapat menutupi matahari saat mengepakkan sayapnya”. Kepak sayap Avalerion telah digunakan oleh Imperium Romawi sebagai simbol kekuasaan mereka yang membentang dari Byzantium sampai Konstantinopel. Di kemudian hari, Adolf Hitler bersama partai NAZI membangkitkan kembali simbol kuno ini sebagai gambaran kebangkitan ras Aria.

Ledakan pemikiran dan pandangan terhadap lambang sosok dan mahluk superior juga berlangsung dalam peradaban Islam. Jibril atau Gabriel diilustrasikan jika menjelma atau memvisualisasikan dirinya merupakan sosok dengan 600.000 sayap. Bentangan sayapnya dapat menutupi azimuth cakrawala. Mistisisme Syiah dan orang-orang Moghul melukiskan Buraq, wahana yang membawa perjalanan spiritual Sang Nabi pada peristiwa Isra Miraj sebagai sosok berkepala manusia, berbadan kuda, dan bersayap burung.

Jauh sebelumnya, bangsa Arab Kuno meyakini seekor burung bernama Anqa sebagai sosok superior pelindung mereka dari serbuan badai gurun pasir. Al-Quran menginformasikan kisah monumental serbuan burung Ababeel sebagai simbol kekuatan Anqa yang dapat menghentikan serbuan Abrahah bersama pasukan gajahnya. Meskipun jumhur ulama menafsirkan burung Ababeel ini merupakan burung-burung yang membawa batu dari neraka, setidaknya kehadiran cerita ini besar dipengaruhi oleh folklor tentang kemasyhuran Anqa di dunia Arab Kuno.

Jostein Gaarder memberikan pandangan –dalam novel filsafat, Dunia Sophie- eksistensi sosok mitologis berbentuk burung yang menyebar di setiap peradaban sebagai upaya penyatuan diri antara manusia sebagai mahluk profan dengan kuasa ilahi sebagai hal adikodrati dan imanen. Setiap peradaban tidak akan mampu mengelak dari sistem dan piranti yang telah disediakan oleh alam ini. Faktanya, simbol burung keramat ini tetap dijadikan lambang kekuatan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Garuda Ngupuk Sang Dewanagari

Dalam kisah epos Mahabharata, Garuda merupakan wahana Wisnu, burung yang memiliki kekuatan di atas nalar manusia. Ia dapat melakukan transformasi, saat menukik tajam wujudnya dapat berubah menjadi api, berbalut kemilau emas. Para seniman sering memvisualisasikan Garuda dengan patung setengah manusia setengah burung bertubuh emas. Lambang kedigjayaan Indonesia juga mengadopsi Garuda berwarna emas dengan sebuah perisai berisi lima dasar sekaligus tujuan dalam kehidupan.

Pengambilan simbol Garuda oleh para Founding Father memiliki maksud, kelak wilayah Nusantara yang membentang dari Barat sampai Timur ini benar-benar mewujud menjadi Dewanagari, negara yang dipenuhi oleh potensi kebaikan di bawah naungan kekuatan besar. Kondisi kehadiran Dewanagari ini termuat dalam satu bait lagu Sunda, Manuk Dadali: Manuk dadali manuk panggagahna// Perlambang sakti Indonesia Jaya// Manuk dadali pangkakoncarana //Resep ngahiji rukun sakabéhna. Garuda adalah Toruk Makto yang dapat menyelamatkan bangsa ini dari ular-ular berbisa pemecah belah bangsa.

Narasi dalam cerita besar di atas memiliki pengaruh terhadap orang-orang Nusantara dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk menentukan pusat pemerintahan yang ideal, dalam tradisi Sunda dikenal idiom Garuda Ngupuk, sebuah lahan yang menjadi pusat kota dan pemerintahan harus baik dari berbagai segi. Tranformasi dan pemberian makna simbol Garuda Ngupuk beberapa tahun lalu telah dilakukan oleh Fonna Melania melalui batik bermotif “Garuda Ngupuk”.

Secara harafiah, Garuda Ngupuk memiliki arti Garuda yang sedang merangkul, menjaga satu tatanan, mengayomi masyarakat, melindungi potensi-potensi wilayah mulai dari sumber daya alam hingga sumber daya manusianya. Kehadiran batik motif Garuda Ngupuk produk Lokatmala pada tahun 2016 sebagai salah satu upaya menjembatani simbol yang tersirat dalam tradisi ke era kontemporer yang sering terlihat mengabaikan tradisi. Pengangkatan kembali nilai-nilai termasuk di dalamnya sebuah simbol harus diawali dengan kejujuran terhadap diri sendiri. Diakui atau tidak, tradisi yang telah membersamai kehidupan para leluhur kita sedang mengalami eliminasi, bahkan jika tidak dirawat (dimumulé) perlahan namun pasti akan mengalami degradasi. Tanpa mengenalkan tradisi melalui simbol dan lambang disertai narasi verbal atau tulisan, Manusia Sukabumi sendiri akan merasa asing dengan sebutan Garuda Ngupuk.

Simbol dalam tradisi Sunda sering dihadirkan dalam bentuk silib siloka dan metafora. Hal ini memiliki maksud agar generasi sekarang dapat memberikan makna dan penafsiran yang sesuai dengan kondisi alam kontemporer, ngindung ka waktu mibapa ka jaman. Gagasan genuine Batik Lokatmala menciptakan motif Garuda Ngupuk selain sebagai upaya tranformasi simbol dari bahasa verbal ke dalam citra gambar, hal besar dari kehadiran motif ini yaitu untuk mengokohkan kembali hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang diayominya.

Sejalan dengan pandangan Platon dalam Republic, keberadaan pemerintah dengan masyarakat merupakan pola equilibrium, keseimbangan, konsistensi, dan keajegan seperti terlukis dalam motif Garuda Ngupuk. Pemerintah harus ada sebagai kelompok yang memberikan perintah kebaikan dan kebenaran. Ia akan dipatuhi oleh masyarakat ketika mereka menyadari bahwa “musyarokah” merupakan entitas bersama yang saling mengikat erat entah itu secara alamiah atau diciptakan dalam sebuah konsensus.

Motif Garuda Ngupuk –di sisi lain- merupakan ungkara romantisme yang harus dihadirkan dalam kehidupan saat ini. Gemah ripah loh jinawi dan reugreug pageuh répéh rapih semangat sekaligus pesan yang terkandung dalam motif Garuda Ngupuk. Secara geografis dan topografis, wilayah Kota Sukabumi dapat dikatakan merupakan sebuah refleksi besar dari Garuda Ngupuk. Gunung Gede Pangrango sebagai maha karya agung –sejak jutaan tahun lalu- telah mengaliri wilayah ini dengan air kahirupan dan kahuripan. Sumber mata air dan sungai besar menjadi tanda sebuah daerah yang benar-benar memenuhi syarat gemah ripah loh jinawi.

Romantisme tentang kejayaan para leluhur kita memang tidak sekadar hanya hadir dalam cerita, dongeng, atau simbolisasi saja. Ia harus hadir dalam kehidupan saat ini. Sesuai dengan motto Masagi yang sering disebutkan oleh Fonna Melania, kebaikan yang telah diwariskan oleh para leluhur kita dapat terwujud dengan hadirnya sikap maju, sadar, dan giat. Dengan prosa sederhana, Fonna menyebutkan, Bukan hanya lahan// Melainkan juga kenangan// Yang melayang seiring alunan Kinanti// Ngahyang lalu ngadeg kembali di hati.

Fase kehidupan yang sedang kita jalani saat ini yaitu kita terlalu sering lupa diri terhadap nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur kita sendiri. Sementara nilai-nilai dari luar yang tidak memiliki ikatan organik dan chemistry dengan diri kita selalu dijadikan referensi dalam bertindak. Orang-orang Eropa sampai saat ini sedang berada di puncak piramida kemajuan bukan tanpa alasan. Setelah sepuluh abad dilanda era kegelapan, mereka telah mampu keluar dari penjara tradisi milik orang lain.

Era pencerahan ditandai dengan “mereka kembali” kepada sumber azali yang telah diwariskan oleh leluhur mereka, Yunani dan Romawi. Sayang sekali, kemajuan mereka selalu disikapi oleh sebagian besar dari kita dengan rasa iri, dengki, bahkan dengan tudingan keyakinan. Garuda Ngupuk merupakan simbol kekuatan, namun orang-orang yang berada di dalam naungannya sering meronta-ronta ingin keluar. Garuda Ngupuk bukan sekadar simbol dan motif, ia adalah nilai-nilai yang seharusnya membersamai kita, Manusia Sukabumi.

Posting Komentar

0 Komentar