Subscribe Us

Si Leungli



Cerita rakyat Si Leungli telah banyak dipaparkan dalam bentuk opini, reviu, dan narasi utuh oleh beberapa penulis. Pembahasaan kembali cerita-cerita rakyat dalam bentuk saduran hingga dibawakan oleh penutur dongeng dalam perlombaan bukan hanya memiliki alasan bahwa cerita tersebut layak dituturkan.

Hal besar sebagai tujuan darinya yaitu bagaimana sebuah cerita dapat menjadi papagon atau penunjuk arah yang dapat mengubah prilaku manusia dalam kehidupan. Jika dicermati, hampir setiap peradaban dilahirkan –pada awalnya- melalui cerita yang membersamai sejarah sebuah bangsa.

Orang-orang Eropa, sejak era aufklarung sampai sekarang, tampil sebagai bangsa besar dan mampu memengaruhi setiap bagian-bagian kehidupan, awalnya dipicu oleh cerita kemasyhuran leluhur mereka. Ekspedisi para sarjana muslim setelah Rasulullah wafat ke berbagai penjuru Bumi dilatarbelakangi oleh kisah leluhur mereka sebagai para pengembara seperti termaktub dalam Surat Al-Quraisy.

Kakek, nenek, dan orangtua ketika kita kecil sering menuturkan cerita-cerita menjelang tidur. Bukan hanya agar kita segera terlelap tidur, ada hal lain, agar nilai-nilai dalam cerita dapat diinternalisasikan ke dalam diri kita melalui bahasa verbal. Bangsa ini entah sudah berapa ratus kali sering mendengar ungkapan: nenek moyangku seorang pelaut, romantisme kejayaan para leluhur, dan cerita rakyat mengandung pesan-pesan moral kebaikan.

Penuturan cerita juga biasanya dilatarbelakangi oleh semangat primordial, kewilayahan, dan pertalian atau ikatan antara masa kini dengan masa lalu sebuah masyarakat. Hal tersebut tidak perlu dipandang aneh. Bagaimana mungkin masyarakat Eropa menceritakan kisah kejayaan Pajajaran lantas mengabaikan cerita di balik kehebatan Imperium Romawi dan cerita-cerita hebat yang berkembang di wilayah mereka?

Sama halnya dengan kita sebagai orang Nusantara, orang Sunda, dan Orang Sukabumi, sangat tidak dapat diterima oleh nalar jika kita memilih untuk melebih-lebihkan cerita kejayaan bangsa lain lantas menihilkan cerita kejayaan leluhur kita. Aesop seorang penulis fabel kuno itu banyak mengisahkan satwa-satwa bercorak Yunani.

Cerita rakyat Si Leungli –harus diakui- telah jarang dituturkan kecuali pada perlombaan. Bahkan di beberapa sekolah dasar saja, selama lima tahun terakhir, penuturan dongeng dan cerita rakyat sudah jarang dilakukan. Hampir setiap dari kita telah terbiasa mengisahkan cerita-cerita biblikal, saduran dari bibel, lantas mengabaikan kisah lokal.

Padahal, cerita biblikal dan saduran yang diambil dari kitab-kitab suci bersifat mutatis mutandis, setiap cerita memiliki pesan moral yang sama. Sebagai contoh, kisah banjir bandang di era Nuh disebabkan oleh kehancuran moral manusia saat itu. Lantas apa bedanya dengan cerita Situ Bagendit, sebuah cerita rakyat yang mengisahkan banjir di satu kawasan karena moralitas para pemilik harta mengalami degradasi sampai mengabaikan orang lemah.

Cerita-cerita rakyat di masyarakat kita memang memiliki beberapa kemiripan dalam penyajian alur, perwatakan, dan pesan. Cerita Si Leungli diawali dengan pentas melodramatik seorang perempuan bernama Nyi Bungsu Rarang, perempuan miskin, yatim piatu, dan sering pendapatkan perlakuan tidak baik dari ke enam kakaknya.

Perempuan ini hidup dalam ruang sunyi, namun di balik kesendiriannya terpancar aura kebaikan. Dia tidak pernah mengeluh dalam hidup. Peluhnya dipersembahkan untuk menyirami pertiwi dengan membersihkan halaman rumahnya setiap hari. Rumah kecil itu memancarkan kebaikan, sekelilingnya ditumbuhi berbagai tanaman, gemercik air, geriap dedaunan. Jika saja seorang penyair menangkap suasana ini, akan lahir bait puisi seperti pernah ditulis oleh mendiang Sapardi Djoko Damono: Hatiku selembar daun// melayang jatuh di rumput// Nanti dulu //biarkan aku sejenak terbaring di sini.

Bagi Nyi Bungsu Rarang, ruang sunyi adalah bahasa Tuhan. Di dalam kesendirian itulah, dia bersahabat dengan seekor ikan yang kemudian diberi nama Si Leungli. Disadari atau tidak, alam selalu memberikan getaran yang sama antara seseorang dengan mahluk yang berada di sekitarnya melalui sinyal kebaikan. Kebeningan hati perempuan itu terpancar pada diri Si Leungli, ikan mas ini tumbuh menjadi ikan periang, berkilau, gerakan lincah, dan mampu membuat Nyi Bungsu menjadi perempuan yang riang. Begitulah cara alam mendidik manusia melalui simbiosis yang saling menguntungkan. Jawaban dari alam begitu runut, ia akan memberikan kebaikan saat diperlakukan secara baik.

Bagaimanapun, resonansi dan getaran kebaikan antara Nyi Bungsu Rarang dengan Si Leungli sering menjadi gangguan bagi para penghasud dan pendengki. Kebahagiaan yang terpancar dari diri perempuan sunyi ini justru dimaknai oleh kakak-kakaknya sebagai api membara yang harus segera dipadamkan. Si Leungli ditangkap dan dibunuh agar ikatan dengan Nyi Bungsu Rarang benar-benar lepas. Kakak-kakak yang jahat itu melupakan satu hal: bagi mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tidak ada perpisahan. Kepala Si Leungli dikuburkannya, air mata membasahi pertiwi. Kuburan Si Leungli setiap hari dibersihkan oleh perempuan sunyi ini. Kelak, pada suatu hari, di atas kuburan ini tumbuh pohon berbuah emas.

Batik Motif Si Leungli

Cerita bukan sekadar dituturkan melalui bahasa verbal, walakin dapat dihadirkan melalui ruang visual dan tulisan. Batik Lokatmala, pada tahun 2014 membuat motif Si Leungli. Fonna Melania menuturkan, filosofi penting dari motif Si Leungli antara lain; kerelaan, keikhlasan, dan kebeningan hati. Bagi Fonna, mengangkat cerita Si Leungli dalam sebuah motif batik dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, cerita Si Leungli merupakan folkor di Jawa Barat, sudah suharusnya cerita-cerita yang menyajikan kearifan lokal dituturkan kembali agar dapat diterima oleh masyarakat.

Kedua, cerita yang berkembang di setiap daerah tidak lepas dari hubungan antara kultur dan lingkungan setempat. Ikan mas sebagai karakter yang melekat dalam diri Si Leungli merupakan jenis ikan air tawar yang dibudidayakan di Sukabumi. Meskipun beberapa penelitian menyebutkan, ikan mas atau karper ini berasal dari Eropa dan Tiongkok Selatan, walakin ikan mas yang berkembang di Sukabumi ini dapat dikatakan telah ada lebih awal daripada ikan mas yang didatangkan dari Eropa dan Tiongkok. Ikan mas di Sukabumi merupakan hasil seleksi alamiah di daerah ini.

Ketiga, setiap unsur kebudayaan satu sama lain saling memengaruhi bahkan pada situasi tertentu saling terikat. Cerita rakyat berkembang sebagai salah satu unsur kebudayaan dalam tata bahasa sangat besar dipengaruhi oleh mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, dan pada perkembangan berikutnya memengaruhi kesenian, bahkan tidak menutup kemungkinan terhadap sistem religi atau keyakinan.

Cerita Si Leungli pernah dipertunjukan dalam seni pertunjukan, gending karesmen atau seni opera beberapa dekade lalu. Seni pementasan sendiri telah dikenal oleh orang-orang Nusantara sebagai sarana hiburan rakyat. Namun, upaya untuk mempertahankan apalagi melestarikan seni tradisional selalu berbanding terbalik dengan penerimaan kita terhadap ekspansi kebudayaan dari bangsa lain. Faktanya, siapapun diri kita, selalu lebih kerasan menikmati kesenian bangsa lain daripada menikmati seni yang dihasilkan dari jalan sejarah bangsa sendiri.

Budaya dan unsur-unsur yang menyertainya di sisi lain dipandang sebagai sesuatu yang kita tanam. Ia akan mengakar ke dalam tanah, tumbuh bagus, berbatang kokoh, berdaun lebat, berbunga mekar, dan berbuah ranum jika ditanam pada habitat yang tepat dan dirawat dengan baik. Sulit bagi kita sebagai orang Sunda dan Sukabumi mengharapkan budaya sendiri tumbuh dengan baik jika tidak diawali dengan menanam dan membenamkan benih-benih budaya yang erat dengan diri kita. Jika tidak demikian, leluhur kita telah mewanti-wanti dengan ungkapan: ka handap teu akaran, ka luhur teu sirungan, artinya generasi yang tidak pernah mau menanam budaya miliknya akan mewujud menjadi generasi hambar dan mengambang. Kita tidak mengarapkan hal ini terjadi.

Cerita Si Leungli telah mengajarkan kepada kita satu sistem yang telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, hukum kausalitas. Melak cabé jadi cabé, melak bonténg jadi bonténg, kebaikan yang kita tanam akan berbuah kebaikan, begitu juga sebaliknya. Si Leungli merupakan simbol ekologis, hanya di lingkungan yang bersih, berair jernih, dan diperlakukan baik ikan-ikan dapat tumbuh berkembang.

Behaviorisme sering mengingatkan, tindakan individu dan masyarakat dapat diamati secara kasat mata pada apa yang dihasilkan dalam bentuk prilaku. Lingkungan yang kotor dapat diasumsikan bahwa prilaku individu dan masyarakat memang kotor atau sekadar ikut ingin menjadi kotor. Tidak dapat disangkal, cerita Si Leungli tentang kebeningan hati dan keikhlasan, sulit mendapatkan tempat di tengah hiruk-pikuk prilaku kita yang kerap dipenuhi hembusan motif yang mengokotori kebeningan hati. Menvisualkan Si Leungli dalam sebuah motif batik merupakan salah satu upaya meminimalisasi beragam motif dalam diri kita. Sebut saja, Si Leungli dan Nyi Bungsu Rarang adalah sebuah ruang sunyi di antara kemeriahan letupan keinginan dalam diri kita.

Posting Komentar

0 Komentar